Akibat Mencari Ridha Allah, Bukan Ridha Manusia
Oleh: Ustadz Wira Bachrun Al Bankawy
Di tengah-tengah pelajaran kitab Syarah
Aqidah Ath Thahawiyyah karya Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafi, guru kami Abu
Abdirrahman Fahd Al Adeni berkisah…
Dahulu, beberapa orang thalibul ‘ilm
murid Syaikh Muqbil diutus untuk berdakwah ke sebuah desa yang mayoritas
penduduknya berpemahaman Syi’ah Zaidiyyah. Salah seorang dari mereka
kemudian memberikan khutbah Jum’at di masjid desa tersebut. Selesai
shalat Jum’at, orang-orang pun riuh membicarakan khutbah yang dibawakan
oleh si thalib. Sampai datang seorang tua kepada si thalib lalu
mencelanya,
“Kamu berkhutbah tidak membaca shalawat dan salam atas ahli bait, keluarga nabi!”
Lalu dengan tenang si penuntut ilmu menjawab, “Bahkan aku telah mengulang-ulangnya. Apakah engkau tidak memperhatikannya?”
Bapak tua itu terdiam bingung. Mungkin
dia bimbang, kapan si khatib membaca shalawat kepada ahlul bait nabi.
Jangan-jangan pas khutbah tadi dia yang ngantuk.
Sebenarnya yang diinginkan oleh bapak tua
yang Zaidi tadi adalah membaca shalawat khusus kepada ahli bait Nabi di
mukaddimah dan juga di penutup khutbah sebagaimana yang menjadi
kebiasaan orang-orang Zaidiyah. Tapi bukankah di dalam khutbah, si
penuntut ilmu sudah bershalawat kepada keluarga nabi setiap kali
membacakan hadits?
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wasallam mengatakan demikian dan demikian… Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda demikian dan demikian…”
Apa arti ucapan shallallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wasallam? Bukankah itu maknanya semoga shalawat dan salam
tercurah pada Rasulullah dan keluarga beliau?
Kemudian bapak tua tersebut berkata lagi,
nampaknya dia tetap mencoba mencari-cari kesalahan si penuntut ilmu,
“Kamu tadi mengimami baca alfatihah tanpa membaca bismillah!”
Kembali si
penuntut ilmu menjawab dengan tenang, “Bahkan aku telah membacanya, tapi
aku membacanya dengan sirr (dipelankan) tidak dengan jahr (dikeraskan)
sebagaimana hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, di mana beliau
berkata,
صَلَيْتُ خَلْفَ النَّبِي صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ فَكَانُوْا
يَسْتَفْتِحُوْنَ بِالْحَمْدُ ِللهِ رَبِ الْعَالَمِيْنَ لاَ يَذْكُرُوْنَ
بِسْمِ الله الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ فِيْ أَوَّلِ قِرَاءَةٍ وَلاَ فِيْ
آخِرِهَا
‘Aku shalat di belakang Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, dan di belakang Abu Bakar, Umar, serta Utsman. Dulu
mereka membuka shalat dengan ‘alhamdulillahi rabbil ‘alamin’ dan mereka
tidaklah mengucapkan bismillahirrahmanirrahim di awal bacaan mereka,
tidak pula di akhirnya.’ (HR. Muslim)
Bapak tua tersebut masih ngotot memaksa,
“Tapi madzhabnya Imam Zaid mengatakan wajib baca basmalah, shalat itu
tidak sah kalau tidak baca basmalah!”
Lalu datang muadzin masjid membela sang
penuntut ilmu. Dia berkata kepada orang tua tersebut, “Wahai syaikh,
engkau tidak bisa memaksa orang untuk mengikuti mazhabmu. Bukankah dia
punya dalil Hadits Anas tadi?”
Akhirnya terjadilah perdebatan sengit
antara sang muadzin dan bapak tua itu. Orang-orang pun berkumpul di
sekitar mereka menambah riuk-pikuk perdebatan tadi. Sang penuntut ilmu
kemudian keluar dari masjid untuk menjauhi keributan.
Di luar masjid, dia ditemui seorang bapak
tua yang lain. Bapak tua ini menyalaminya, kemudian bertanya kepada si
penuntut ilmu, “Wahai anak muda, kenapa engkau tidak tanazzul saja,
mengikuti tata cara peribadahan mereka, agar kemudian mereka
mendengarkan dan menerima dakwahmu?”
Si penuntut ilmu menjawab, “Wahai paman, bukankah Rasulullah pernah bersabda,
مَنْ أَرْضَى اللهَ بِسَخَطِ النَّاسِ،
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَأَرْضَى عَنْهُ النَّاسُ، وَمَنْ أَرْضَى النَّاسُ
بِسَخَطِ اللهِ، عَادَ حَامِدَهُ مِنَ النَّاسِ لَهُ ذَاما
“Barangsiapa yang mengharap ridha Allah
walaupun manusia murka kepadanya, maka Allah akan ridha kepadanya dan
demikian juga manusia akan ridha kepadanya. Barangsiapa yang mengharap
keridhaan manusia walaupun dengan kemurkaan Allah, maka orang yang
dahulu memujinya akan berbalik mencelanya” (Shahih, dishahihkan oleh Al
Albani. Lihat Syarh Aqidah Ath Thahawiyyah hal 268, terbitan Darus
Salam)
Bapak tua itu kemudian berkata kepada kepadanya, “Benar, benar.. Sungguh benar ucapanmu.”
Si penuntut ilmu kemudian pergi. Ketika
dia shalat ashar di masjid yang lain, ada beberapa orang dari desa
tersebut mendatangi dia sambil membawa senapan. Senapan itu lalu
diletakkan di hadapan si penuntut ilmu. Salah seorang dari mereka lalu
berkata kepada si penuntut ilmu,
“Wahai syaikh… (ini merupakan panggilan
kehormatan bagi si penuntut ilmu, karena sebenarnya dia masih muda dan
belumlah pantas dipanggil syaikh).. Wahai syaikh, sesungguhnya kabilah
kami merasa sangat malu dengan apa yang terjadi tadi setelah shalat
Jum’at. Kami seharusnya menghormati dirimu sebagai tamu di desa kami,
tapi kami telah memperlakukanmu dengan kurang terhormat.
Dan orang tua yang tadi siang mencelamu
sungguh dia adalah orang yang paling buruk di antara kami. Kami tidaklah
pernah melihat dia shalat Jum’at melainkan hari ini, ketika dia
mendengar bahwa dirimu yang akan memberikan khutbah. Oleh karena itu,
ini senjata wahai syaikh kami berikan kepadamu. Terserah engkau apa
hukuman yang pantas bagi kami, karena sesungguhnya ini adalah aib yang
besar bagi kami. Kami sungguh merasa malu.”
Dengan bijak si penuntut ilmu berkata,
“Tidak ada sesuatu di antara kita. Apa yang sudah terjadi biarkanlah
terjadi. Hanya saja biarkan saya dan teman-teman mengajarkan sunnah Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam di tengah-tengah kalian.”
Akhirnya para utusan kabilah tersebut
menyetujui keinginan si penuntut ilmu. Mereka pun mulai mengajarkan
penduduk Islam yang benar, yang sesuai dengan sunnah nabi shallallahu
‘alaihi wasallam sebagaimana yang dipahami oleh salafus shalih, generasi
awal Islam.
Bahkan pada malam itu juga, di masjid
yang sama -karena pada waktu itu Ramadhan- ditegakkan shalat tarawih
untuk yang pertama kali sejak masjid itu dibangun, karena sebelumnya
mazhab Syiah Zaidiyah tidaklah menganggap shalat tarawih berjama’ah itu
sebagai sesuatu yang disyariatkan.
Maka sejak itu, berubahlah desa tersebut dari desa Syi’ah Zaidi menjadi desa ahlussunnah. Walillahil hamd.
Sungguh telah benar Nabi shallallahu ‘alaihi wa’ala alihi wasallam dengan sabda beliau,
“Barangsiapa yang mengharap ridha Allah
walaupun manusia murka kepadanya, maka Allah akan ridha kepadanya dan
demikian juga manusia akan ridha kepadanya…”
Wallahu ta’ala a’lam bisshawab.
Ditulis di tepi Laut Arab, Madinatus Syihir -Propinsi Hadramaut Yaman pada hari Rabu tanggal 7 Sya’ban 1433 H – 27 Juni 2012
Ditulis di tepi Laut Arab, Madinatus Syihir -Propinsi Hadramaut Yaman pada hari Rabu tanggal 7 Sya’ban 1433 H – 27 Juni 2012
0 comments:
Post a Comment